Apakah idealisme itu penting?

Kamis, 06 Oktober 2022 0 komentar

To the point aja lah, jawabannya "iya"

Gini, semingguan ini saya bolak-balik memotret 3 cagar budaya di Solo untuk persiapan lomba fotografi nasional, dan sampai blog ini ditulis saya masih proses pemotretan karena belum selesai. 

Pertanyaannya adalah? Kenapa kok bisa selama itu? Jawabannya: Karena untuk satu cagar budaya, saya perlu lebih dari 2 kali datang untuk mendapatkan hasil yang saya inginkan, nah dari sini keliatankan sisi idealisnya, pokok'e kudu apik (pokoknya harus bagus).

Padahal sebenarya pada hari pertama saya motret, foto yang saya hasilkan juga nggak jelek-jelek banget, kalau dikumpulkan dalam tugas mata kuliah fotografi, minimal nggak dapet C lah. Tapi saya nggak puas dengan hasil itu, karena tujuannya untuk memenangkan lomba, tentu harus perfect mulai dari komposisinya, cuacanya, dll, untuk itulah harus ngambil lebih dari dua kali kedatangan. Busset ambisius banget dah. 

Intinya idealisme saya pakai supaya saya nggak menurunkan standar. Saya jadi ingat ketika mau berpameran untuk pertama kali, dan kebetulan di kurator'i oleh senior saya yang sangat idealis, gimana nggak idealis wong beliaunya staff fotografer majalah national geographic. 

Singkatnya saya saya waktu itu mau membuat photo story industri pembuatan cokelat, sebagai orang yang gak mau ribet, saya maunya foto tersebut dikerjakan dalam 2 kali kedatangan, kedatangan pertama untuk survei, kedatangan kedua untuk eksekusi pemotretan. 

Dan singkatnya sang senior merasa kurang dengan foto saya, "gak cuma 2 kali datang, kamu harus ngikuti pekerjanya belanja, jualan, dll" katanya.

 "anjirrr, berarti saya harus masuk ke kehidupannya nih? Wah ruwetmen koe mas (ribet banget kamu mas)" batin saya waktu itu. 

Akhirnya saya tidak mengikuti saran beliau, dan foto saya ditolak, ya agak baper sih waktu itu. 

Nah kembali ke topik, si senior saya ini memakai idealismenya untuk menjaga mutu pameran yang akan saya ikuti. 

Idealisme bagi sebagian orang memanglah sesuatu yang ekstrem, keras kepala, namun dibalik itu ada sisi positifnya untuk menjaga sebuah kualitas. Dan setelah tahun-tahun berlalu, foto industri coklat tersebut ketika saya amat-amati lagi, memang kurang sih, saran sang senior ada benarnya. 

Tapi apakah saya menyesal tidak menuruti kata senior? Jawabannya adalah tidak. 

Jika saya paksakan untuk mengikuti kegiatan pekerjanya selama berhari-hari, rasanya susah, bahkan nggak mungkin, la wong tak foto aja pekerjanya agak merasa kurang nyaman kok, apalagi jika pemotretan sampai berkali-kali. 

Nah, ini masuk ke pertanyaan yang menarik

Apakah idealisme harus dilakukan? 

Jawabannya adalah tidak harus. 

Jika foto coklat diatas saya paksakan untuk mengikuti saran senior, wah bisa-bisa saya di blacklist gak boleh ke sana lagi, karena dianggap menggangu. Alhasil saya mencoba alternatif lain, yaitu membuat foto tunggal kerajinan, yang akhirnya lolos pameran hehe. 

Nah kenapa kok di foto cagar budaya saya bisa idealis? Jawabannya: karena memungkinkan, jarak antara lokasi cagar budaya dengan rumah saya hanya 15 menit naik kendaraan, mau bolak-balik selama sebulan pun oke-oke saja (meskipun saya ragu sih bisa betah apa tidak kalau beneran sampai sebulan hehe). 

Beda misalnya jika saya tidak puas dengan foto gunung bromo, tentu susah jika saya harus bolak-balik solo probolinggo untuk mendapat foto yang terbaik, kecuali jika ada yang sponsori. 

Jadi intinya idealisme baik dipakai untuk menjaga kualitas, tidak menurunkan standar. 

Tapi juga harus dilihat situasi dan kondisinya, jika tidak memungkinkan, carilah alternatif lain. Saya jadi ingat suatu quote yang berbunyi: "idelalisme tanpa kompromi adalah suatu egoisme" dan saya setuju dengan itu. 

0 komentar:

 

©Copyright 2011 Diewha Gredianto | TNB